“ Berharap Ini Ramadhan Terakhir “
“ Berharap Ini Ramadhan Terakhir “
Bismillah
Luar biasa!, kata yang pertama terucap dengan hadirnya satu waktu dimana semua pahala dilipatgandakan (sepuluh, tujuh puluh, tujuh ratus), dimana ampunan dibuka seluas mungkin, dimana pintu itu (rayyan) dibuka. Alhamdulillah, Allahuma bariklana Romadhon.
Atmosfer itu begitu kuat memberikan efeknya, dimana suara-suara lantunan ayat-ayat cinta dari Allah diperdengarkan; dimana masjid, surau, mushola penuh sesak tak biasa; dimana suasana islami itu kini hadir di semua tempat. Benar, semua berlomba mencari pahala sebanyak mungkin. Semua tak mau ketinggalan dengan bulan mulia ini untuk berlomba mencari kebaikan. Televisi, radio dan media cetak tak mau ketinggalan meramaikan ramadhan ini dengan nuansa islami (walaupun dengan maksud tak mau ketinggalan berbagi profit).
Ya bulan suci ini bagaikan ejekan mutlak bagi para syaitan dan bagaikan sebuah hiburan bagi para pendamba syurga, pelipur dahaga keimanan. Bulan mulia bagi setiap insan yang dengan ikhlas melaksanakan setiap syariat Allah, dengan niat hanya untuk taat bukan untuk maslahat. Serta tambahan motivasi dari peristiwa Futtuh Makkah pada bulan yang sama 14 abad yang lalu, bukti perjuangan itu Allah menangkan untuk kaum Muslimin.
O ow,! suara hati itu datang lagi. Dia ingin teriak, tak mau diam. Gusar, bagai bola pejal dengan kelentingan sempurna bergerak kesana-kemari. Ya Allah ternyata ramadhan yang entah kesekian kali ini masih saja tak membuat semua orang merasakan islam itu kedalam logika mereka. Statement tadi bukanlah sebuah kesimpulan prematur, namun bagai sebuah fakta keseharian yang selalu ditemui.
Bukankah para wanita yang mengaku muslimah itu berpuasa juga, namun tetap dengan sombongnya menampakkan auratnya. Bukankah para pejabat itu berpuasa juga, namun dengan sombongnya mengambil kebijakan yang bertentangan dengan aturan Allah dan mengambil hak ummat untuk kepentingan kaum kuffar. Bukankah seorang presiden juga berpuasa, namun dengan congkaknya menjadi kacung negara bermodal besar a.k.a kapitalis laten. Bukankah manusia-manusia itu juga mengaku muslim, namun masih saja terlihat tak berpuasa bahkan parahnya mati konyol dengan tetap menenggak campuran obat serangga dan alkohol murahan hanya untuk sekedar menikmati malam (korban tewas 7 orang di Indramayu dan 16 nyaris tewas di Cirebon akibat minuman keras oplosan).
Rasanya tak cukup dengan mengelus dada semua kekecewaan itu dapat hilang melihat sebagian kaum muslimin sangat berbahagia dengan datangnya ramadhan dan sebagian lagi masih saja berkutat dengan lingkaran syetan dan kemaksiyatan. Rasanya tak cukup para ustadz tenar di televisi-televisi swasta bertausyiah di setiap kultum untuk menyadarkan ummat akan indahnya ber-Islam. Bagaikan sebuah akhir cerita sedih tak menarik. Hanya istigfar yang menjadi teman hampir setiap waktu.
Lagi-lagi teringat dengan sebuah ayat Al-Qur’an “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah...” TQS Ali-Imran:110. Sebuah predikat yang seharusnya menjadikan semua orang berfikir dan termotivasi untuk melaksanakannya. Tentu dengan syarat, yaitu menjadi muslim yang dimanapun dan kapanpun selalu melakukan aktivitas beramal ma’ruf dan ber-nahyi munkar (selalu menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari keburukan, red). Tentu saja dengan standar baik buruk bukan berdasarkan hanya nilai-nilai moralitas semata, namun yang maknanya lebih dari hanya nilai universal. Bukankah manusia diberikan potensi akal untuk berfikir dan beriman sesuai kaidah yang benar yaitu pencarian kebenaran hakiki yaitu suatu kebenaran yang memuaskan akal; tak terbantahkan dan sesuai dengan fitrah manusia.
Tentu manjadi sebuah dilema pada saat manusia tak mengerti arti dari sebuah penciptaan manusia, pantas makin banyak manusia yang tak mengerti bahkan tak mau mengerti bagaimana Islam menjadi sebuah solusi bagi setiap problem manusia, alam semesta dan kehidupan. Semua tak sulit hanya tinggal sedikit saja berfikir dan sedikit meresapi kekuasaan Allah Rabbul ‘Alamin,...” Dan nikmat manakah yang akan engkau dustakan”, Sebuah pertanyaan Retoris yang membuat malu semua anak Adam.
Tak Elak menjadi sebuah harapan ini “ Ramadhan Terakhir Tanpa ISLAM Sebagai Sebuah Sistem Yang Mengatur Segala Aspek Kehidupan”